Gubernur Konten dan Perbaikan Mental Birokrasi

Istimewa

Gubernur Konten – Di negeri ini, birokrasi bukan hanya lambat, tapi juga kerap kali menjadi sarang mentalitas “asal bapak senang”. Segala keputusan di tentukan oleh siapa yang paling dekat dengan kekuasaan, bukan siapa yang paling kompeten. Di tengah kondisi seperti itu, muncul fenomena baru: para pemimpin daerah—terutama gubernur—berlomba-lomba membangun citra melalui media sosial. Gubernur kini bukan hanya kepala daerah slot bet 200, tapi juga gubernur konten. Pertanyaannya: apakah konten itu cukup untuk memperbaiki mental birokrasi?

Gubernur Sebagai Figur Publik dan Mesin Citra

Hari ini, kita menyaksikan kepala daerah yang lebih sibuk membuat video inspiratif, tampil gagah membelah banjir, atau berpidato tentang integritas sambil tersenyum ke kamera. Semuanya tampak hebat di layar, tapi ketika kita turun ke lapangan, pelayanan publik tetap saja amburadul. Yang di unggah hanyalah potongan-potongan keberhasilan. Tidak ada konten tentang pegawai yang malas, korupsi kecil-kecilan di kantor pelayanan, atau mental pejabat yang merasa lebih tinggi dari rakyat.

Publik menyukai konten—itu tidak bisa di bantah. Tapi membangun citra tidak boleh menggantikan kerja nyata. Jika gubernur lebih fokus pada tampilannya di media ketimbang membenahi etos kerja internal pemerintahan, maka ia hanya mempercantik wajah birokrasi yang busuk di dalam.

Perbaikan Mental Birokrasi Tidak Bisa Instan

Perubahan mental birokrasi tidak bisa dicapai hanya dengan slogan-slogan motivasi di TikTok. Di butuhkan ketegasan, keteladanan, dan sistem yang menghukum pegawai yang tidak kompeten slot depo 10k, bukan justru membiarkan mereka naik jabatan karena kedekatan politik. Reformasi mental birokrasi adalah proses panjang yang di mulai dari pimpinan. Gubernur harus menjadi teladan, bukan hanya figur media. Ia harus hadir di rapat internal, memantau kinerja harian, mendengar keluhan pegawai tingkat bawah, dan—yang paling penting—berani membuat kebijakan tidak populer demi perbaikan jangka panjang.

Antara Viral dan Visioner

Seorang gubernur konten bisa viral dalam semalam, tapi gubernur yang visioner butuh waktu bertahun-tahun untuk dilihat hasil kerjanya. Masalahnya, di era algoritma ini, kita lebih memuja yang viral. Rakyat terpukau oleh narasi yang dibangun, sementara budaya kerja bobrok tetap bercokol di dalam sistem.

Saatnya rakyat melek. Jangan biarkan kamera dan caption mengaburkan fakta. Gubernur yang benar-benar memperbaiki mental birokrasi mungkin tidak punya konten yang menarik, tapi dia menciptakan perubahan yang sesungguhnya. Dan itulah pemimpin yang pantas mendapat sorotan—bukan karena gaya, tapi karena keberanian dan integritasnya.