Polantas Di Medan – Kisah ini bermula dari unggahan viral seorang pengendara di Medan yang mengeklaim bahwa dirinya di slot bonus new member mintai uang tilang sebesar Rp 200 ribu oleh seorang anggota polisi lalu lintas (Polantas). Dalam unggahan tersebut, pengendara tersebut menyebutkan bahwa dirinya di berhentikan di kawasan Jalan Gatot Subroto, Medan, karena tidak menggunakan helm. Namun, alih-alih di berikan surat tilang resmi, pria berseragam itu diduga meminta “damai” di tempat.
Unggahan ini dengan cepat menyebar luas. Ribuan komentar membanjiri media sosial, sebagian besar mengecam tindakan oknum yang di duga menyalahgunakan wewenang. Tagar seperti #PungliPolisi dan #Tilang200Ribu pun sempat masuk dalam deretan trending di X (sebelumnya Twitter).
Namun, cerita viral itu bukanlah akhir dari segalanya. Justru menjadi titik awal dari pernyataan yang mengejutkan dari pihak kepolisian.
Kronologi Polantas Di Medan
Merespons sorotan publik yang semakin panas, pihak kepolisian, melalui Polrestabes Medan, akhirnya buka suara. Dalam konferensi pers yang berlangsung di Mapolrestabes Medan, seorang Polantas yang di sebut-sebut dalam unggahan tersebut tampil di hadapan awak media dengan wajah tegas dan penuh pembelaan.
“Saya tidak pernah meminta uang sebesar itu. Tuduhan itu tidak benar dan sangat mencemarkan nama baik saya sebagai aparat penegak hukum,” ujar Polantas tersebut dengan nada penuh tekanan.
Baca Berita Lainnya Juga Hanya Di ppidbawaslurohil.com
Ia juga menjelaskan bahwa pada hari yang di maksud, dirinya memang sedang bertugas dan menindak beberapa pelanggar lalu lintas, namun semua di lakukan sesuai prosedur. Tidak ada slot bet 200 perak transaksi uang di tempat, apalagi nominal Rp 200 ribu sebagaimana di sebutkan.
Lebih lanjut, ia menyebut unggahan viral itu sebagai “fitnah kejam” yang sengaja di buat untuk membentuk opini publik negatif terhadap institusi Polri.
Keterangan Resmi dari Polrestabes Medan
Kepala Satuan Lalu Lintas (Kasatlantas) Polrestabes Medan, AKBP Edwin Harefa, menambahkan bahwa pihaknya sudah memeriksa laporan tersebut secara internal dan tidak menemukan bukti kuat adanya praktik pungutan liar. Ia menuding bahwa unggahan tersebut hanya menyudutkan institusi dan menyerang kehormatan anggota yang sedang menjalankan tugas.
“Kami tidak main-main soal integritas. Jika memang ada anggota yang bersalah, pasti akan kami tindak tegas. Tapi dalam kasus ini, berdasarkan investigasi awal, tudingan itu sangat meragukan. Kami bahkan membuka pintu bagi pelapor untuk membuktikan klaimnya,” ungkap Edwin dengan nada tegas.
Pihak kepolisian juga mengisyaratkan kemungkinan akan melaporkan balik pihak yang menyebarkan informasi tersebut karena dinilai melakukan pencemaran nama baik.
Publik Terbelah, Siapa yang Harus Dipercaya?
Meski bantahan telah di lontarkan secara resmi, publik belum sepenuhnya percaya. Banyak yang mempertanyakan mengapa pelanggaran ringan seperti tidak memakai helm harus di selesaikan di lapangan dan tidak langsung di proses melalui sistem tilang elektronik.
Beberapa warganet menyoroti kebiasaan lama yang seolah sulit di hapus dari kultur penegakan hukum lalu lintas di Indonesia. “Sudah biasa kok, yang kayak gini. Baru sekarang viral aja,” tulis seorang pengguna media sosial di kolom komentar.
Di sisi lain, ada pula yang membela Polantas tersebut dan menyebut bahwa masyarakat juga kerap mengarang cerita untuk mencari simpati. “Gara-gara medsos, semua bisa jadi korban. Jangan gampang percaya tanpa bukti kuat,” ujar netizen lainnya.
Ketegangan Semakin Meningkat
Hingga kini, belum ada titik terang dari pihak pelapor mengenai bukti rekaman atau dokumen yang mendukung tuduhan pungli. Sementara itu, pihak kepolisian bersikeras bahwa kasus ini hanyalah bentuk pembunuhan karakter terhadap aparat yang sedang menjalankan tugasnya.
Kondisi ini menciptakan ketegangan yang tidak hanya di rasakan di Medan, tetapi juga menyulut kembali diskusi nasional mengenai transparansi penegakan hukum dan relasi antara rakyat dan aparat. Akankah ini menjadi satu dari sekian banyak kasus yang menguap begitu saja, atau justru jadi momentum bersih-bersih internal?
Waktu yang akan menjawab. Namun satu hal pasti: suara publik sudah terlanjur gaduh.